oleh Lili Chauliyah
Mulai Maret sudah tersiar kabar bahwa Menteri Pendidikan pada Hardiknas akan mengumumkan kenaikkan tunjangan fungsional guru yang berlaku surut mulai Januari 2002. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara, selain sejak Mei fungsional akan bertambah, punya simpanan (rapel) pula sejak Januari hingga Mei 2002. Namun, ternyata penantian tiada berujung dan mimpi di atas mimpi pun menjadi kenyataan. Sayang, guru tidak seperti anggota DPR atau DPRD yang berhasil menikmati kenaikan gaji atas usaha bargaining dirinya dengan pemerintah.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa guru selalu tak berdaya dalam memperjuangkan nasibnya melawan ketakmenentuan kondisi ekonomi dan sosial politik yang terus berubah-ubah mengikuti proses alih kekuasaan. Sementara proses pendidikan tidak boleh berhenti. Guru harus terus menjalankan tugas dalam mencerdaskan dan memintarkan bangsa agar kelak negeri ini dapat dipimpin oleh anak bangsa yang mampu secara ajaib membawa negeri ini segera lepas dari krisis ekonomi. Dari sudut etika, Guru tidak boleh mogok kerja, guru tidak etis jika berdemo. Namun, bukankah guru pun manusia yang punya kehendak untuk meningkatkan kualitas hidupnya seperti halnya profesi lain?
Penetapan penyelenggaraan sistem pendidikan yang disentralisasi (decentralizing of education) dalam kondisi otonomi daerah mengubah secara total paradigma penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Perubahan paradigma tersebut didasari oleh kekuatan yuridis formal yaitu UU no. 22/1999, UU no. 25/1999, dan PP no. 25/2000. Penetapan desentralisasi pendidikan menuntut pengutamaan usaha-usaha ke arah pemberdayaan sekolah sebagai institusi pencetak manusia-manusia yang berkualitas dan berbudi luhur, sehingga sekolah memiliki kewenangan, keleluasaan, atau otonomi di dalam mengelola proses belajar mengajar anak didiknya. Pada kondisi seperti ini tuntutan profesionalisasi guru semakin tinggi. Selain itu, guru dintuntut pula memiliki rasa percaya diri yang tinggi (high self-confidence) terhadap penguasaan dan pengembangan materi, berdaya kreasi (creative tinking), memiliki kemauan untuk berinovasi (innovative), bahkan mampu bersaing secara positif (compatible). Lagi-lagi guru dihadapkan hanya pada kondisi kewajiban dan tuntutan profesi, sedangkan hak belum mendapat perhatian dari pemerintah, para politisi, maupun para pejabat (sekalipun semula dirinya guru). Malah, potensi kuantitas guru sebagai pegawai negeri di daerah dipandang sebagai potensi yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politis dengan “dalih pembangunan”.
Manajemen Berbasis Sekolah
Pemberlakukan desentralisasi pendidikan berimplikasi pada kehadiran pemikiran impor dalam mengelola pendidikan di sekolah. Sistem pengelolaan itu dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) yang merupakan salah satu pola yang dapat digunakan dalam menjalankan sistem pendidikan. Oleh karena itu, MBS menjadi suatu keharusan bagi setiap sekolah yang memiliki political-will terhadap konsepsi sistem desentralisasi pendidikan. Pemberlakuan MBS merupakan alternatif yang amat esensial dan menjadi kunci utama dari keberhasilan pengelolaan proses dan produk belajar mengajar di sekolah. Hal ini berlaku bagi seluruh sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, dan Sekolah Lanjutan Atas. Dengan sendirinya paradigma lama dalam proses penyelenggaraan pendidikan harus ditinggalkan dan beralih ke proses penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada “kewenangan sekolah” (school authority). Untuk meningkatkan otoritas atau kewenangan sekolah namun dalam koridor edukasi yang tidak terjadi semena-mena maka diperlukan kehadiran “Dewan Sekolah” (school committee). Institusi ini merupakan institusi kekuatan masyarakat yang berfungsi sebagai mitra kerja bagi Kepala Sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Tampaknya diperlukan kepiawaian serta kehandalan guru untuk berkolaborasi dengan lembaga tersebut. Bersama-sama dengan Dewan Sekolah berusaha untuk mengupayakan tindakan-tindakan yang mengarah pada peningkatan kualitas, baik kualitas sumber daya manusianya (human resource), kualitas hasil pendidikan (product quality), kualitas kerja (management quality) bahkan kualitas kesejahteraan guru (teachers’ prosperity). Oleh karena itu, dalam rangka menyeimbangkan antara tuntutan profesionalisasi guru dengan raihan kesejahteraan guru sangat diperlukan pemberdayaan (empowering) Dewan Sekolah yang mampu memberikan pemikiran secara holistik serta memberikan jalan keluar atas dilematika yang dihadapi guru. Dengan demikian, motor utama keberhasilan pelaksanaan MBS di sekolah adalah solidnya kerjasama antaranggota “Dewan Sekolah” dalam menyelenggarakan proses pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Selain itu Dewan Sekolah harus pula mampu menggalang partisipasi masyarakat luas (community participant) agar berupaya mendorong sekolah untuk menjadi sekolah yang representatif bagi penyelenggaran proses pendidikan, berprestasi, berkualitas dan berkemampuaan tinggi (high qualified and competent).
Tuntutan terhadap Sekolah
Sebagaimana diungkapkan di muka bahwa penyelenggaraan pendidikan dengan MBS maka paradigma penyelenggaraan pendidikan secara drastis berubah. Pemikiran yang masih konvensional dan tradisional dalam penyelenggaraan pendidikan harus ditanggalkan sebagai konsekuensi logis dari penyelenggaraan pendidikan dalam paradigma baru. Oleh karena itu, dalam menjalankan MBS timbul beberapa tuntutan terhadap sekolah, yaitu:
Pertama, sekolah harus mampu memberikan pertanggungjawaban secara transfaran (accountability) kepada masyarakat. Akuntabilitas publik ini dimaksudkan bukan saja dalam pemanfaatan dana yang disedot dari masyarakat, baik secara langsung maupun melalui murid yang belajar di sekolah tersebut, melainkan juga melakukan transfaransi dalam melaksanakan proses dan produk jasa pendidikan yang dijalankannya. Kondisi ini memang akan sangat berat dijalankan oleh pengambil kebijakan di sekolah (baca: Kepala Sekolah), karena selama ini pemanfaatan dana publik, baik berupa bantuan dari pemerintah maupun yang diperoleh dari masyarakat “sulit” dijalankan secara transfaran. Sampai saat ini, jangankan dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana sekolah kepada publik, kepada para guru pun masih belum dapat dilaksanakan. Akuntabilitas proses dan produk pendidikan yang dijalankan pun harus dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan dan kapabilitas guru dalam menjalankan proses pendidikan harus secara transfaran dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, kegiatan guru dalam membuat perencaan pembelajaran, model mengajar, serta target pembelajaran kiranya dapat dirumuskan secara bersama dengan Dewan Sekolah. Demikian pula dengan produk yang harus dihasilkan dari suatu penyelenggaraan pendidikan yang dijalankan oleh guru harus secara transfaran dipertanggngjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan standar minimal nasional atas kemampuan yang harus dimiliki siswa dari suiatu jenjang pendidikan. Konsekuensi akuntabilitas publik ini berpulang kepada guru sebagai ujung tobak pelaksana pendidikan dalam kelas. Guru harus mampu melaksanakan proses pendidikan dan melahirkan produk pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Lagi-lagi guru menjadi tulang punggung keberhasilan pelaksanaan SBM.
Kedua, sekolah harus mampu memberikan pelayanan prima kepada peserta didik. Hal ini berarti sekolah harus memberikan pendidikan yang optimal agar tercapai kualitas produk yang diharapkan (product achievement), yang mampu bersaing (compatible), dapat diterima di pasaran kerja (marketable). Apabila output pendidikan tidak diarahkan pada ketentuan tersebut, maka pendidikan hanya akan menciptakan para penganggur baru di tanah air tercinta ini. Pelaksana utama dari pelayanan prima ini adalah para guru. Oleh karena itu, guru dihadapkan pada tugas maha berat dalam memberikan pelayanan akademik kepada siswanya. Guru harus memahami dan menguasai pasar (baca: tuntutan masyarakat) agar pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan memiliki makna bagi para siswanya dalam menjalani berkehidupan di masyarakat. Dalam pelaksanaan MBS digulirkan konsep-konsep baru yang dapat mendukung keberhasilan konsep pendidikan yaitu Broad-based Education for Life Skill (konsep pendidikan ketrampilan sebagai modal untuk hidup). Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi para siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi karena faktor ekonomi, namun ia dapat hidup di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan harus mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat diterima di pasaran kerja atau menciptakan peluang kerja untuk pengembangan dan menghidupi dirinya. Ketika output pendidikan, siswa lulusan suatu sekolah dianggap tidak berpendidikan (uneducated) maka yang dijadikan sebagi kambing hitamnya adalah guru, yang dicaci tidak mempersiapkan terdidik dengan baik adalah guru, dan segala jenis caci maki ditumpahkan kepada guru sebagai pencetak pribadi manusia. Padahal guru hanya diberi kesempatan sangat singkat untuk mendidik dan mengajari siswa di sekolah. Padahal guru berpolemik antara tuntutan profesional dan tanggung jawab dengan raihan kesejahteraan yang hanya mimpi.
Ketiga, sekolah harus mampu meningkatkan kualitas guru dalam menyelenggarakan pendidikan. Sebagai “pendidik” guru harus memiliki kompetensi yang handal (high of competence) dan memiliki kelayakan mengajar di bidangnya (proper teaching). Temuan yang sangat memprihatinkan dari UNDP (United Nation of Development People) yaitu Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan Masyarakat, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa “40% dari guru di Indonesia tidak layak mengajar”. Kenyataan ini makin memojokan guru pada kondisi yang semakin dilematis. Agar tidak terjebak pada suatu kondisi sin qua non, maka salah satu strategi pemerintah untuk mengantisipasi masalah ini adalah dengan melakukan peningkatan kualitas kelayakan guru. Pemerintah menetapkan bahwa untuk mengajar pada jenjang pendidikan SD/MI seorang guru minimal harus berbasis pendidikan setara D2, guru SLTP/Tsanawiyah minimal harus berpendidikan lulusan D3, dan guru SLTA/Aliyah minimal harus berpendidikan Strata 1 atau Sarjana di bidangnya, bahkan bila mampu hingga mencapai Strata 2 atau Magister. Tuntutan profesional ini semakin berat bagi seorang guru jika dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada guru, baik kesejahteraannya, peningkatan SDM-nya, maupun pemenuhan kebutuhan profesional di sekolah semakin terabaikan. Tampaknya para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah masih belum menyadari betapa berat beban yang harus dipikul seorang guru yang profesional. Tampaknya pengambil kebijakan belum menyadari bahwa dirinya dibesarkan dan dipandaikan oleh tangan-tangan dingin seorang guru. Padahal harus diakui bersama bahwa “ternyata bangsa ini dibangun oleh guru”.
Dari uraian di muka dapat dinyatakan bahwa dalam menjalankan konsep desentralisasi pendidikan tuntutan profesionalisasi guru sangat tinggi, sedangkan perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap kesejahteraan guru masih sangat jauh dari harapan. Tuntutan kewajiban dan kelayakan akademik yang harus dipenuhi guru sangat berat, namun hak yang diperoleh masih ringan. Kapan kiranya “dewi fortuna” akan memimpin negeri ini yang memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada pendidikan dan guru? Bulan Mei yang diharap-harap dan diimpi-impikan para guru dan keluarganya untuk beroleh peningkatan kesejahteraan hidup hanya menjadi impian.