
Lili Chauliyah
Berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan di Era Otonomi Daerah sangat mengagetkan semua pihak. Betapa tidak? Sekolah merupakan suatu organisasi yang didisain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat suatu bangsa, sehingga sekolah harus menerapkan suatu manajemen yang diarahkan pada fungsi itu. Untuk mencapai peningkatan kualitas hidup masyarakat dan derajat sosial masyarakat, sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan perlu dikelola, diatur, ditata, dan diberdayakan secara optimal, sehingga sekolah dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian, sekolah harus melakukan pemberdayaan sumber-sumber potensial sekolah dan masyarakat.
Alternatif manajemen yang ditawarkan pemerintah untuk mengelola organisasi sekolah adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Berdasarkan MBS, sekolah memiliki otonomi, kemandirian, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi dan menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan untuk meredesain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas pemerintah pusat ke lokal (stakeholders), dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. MBS merupakan suatu bentuk restrukturisasi "grassroots", dengan pendekatan "bottom up" yang bergantung pada adopsi lokal terhadap gagasan-gagasan reformasi pendidikan. MBS mengubah sistem pengambilan keputusan dan manajemen menjadi kewenangan penuh di tingkat lokal atau sekolah, dengan memberikan kekuasaan kepada Kepala Sekolah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. MBS dapat diartikan sebagai wujud dari "reformasi pendidikan" yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik dengan memberikan kewenangan (otorita) kepada sekolah untuk memberdayakan dirinya. MBS pada prinsipnya menempatkan kewenangan yang bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindari format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu
Salah satu karakteristik sekolah yang menerapkan MBS adalah melakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Penerapan MPMBS perlu dilakukan sekolah, karena sekolah memiliki otonomi dalam mengambil keputusan. Kebervariasian kebutuhan belajar siswa, keberagaman kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, keberagaman lingkungan sekolah yang satu dengan lainnya, harapan orangtua atau masyarakat pada pendidikan yang bermutu bagi anaknya, dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga kerja bermutu, akan berdampak kepada keharusan bagi setiap pimpinan sekolah untuk mampu merespon dan mengapresiasi kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif, dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Oleh karena sekolah berada pada bagian terdepan pada proses pendidikan, maka berkonsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara itu, masyarakat dituntut berpartisipasi agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Penerapan manajemen ini berbeda dengan konsep pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro, tetapi lebih jauh pada hal-hal yang bersifat mikro. Sementara itu, sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir (paradigma) dari yang bersifat rasional, normatif, dan pendekatan preskriptif.
MPMBS merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian dan kreativitas sekolah. Konsep ini dikembangkan berdasarkan teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan atau perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua murid atau masyarakat.
MPMBS bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah; (2) mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia, (3) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, (4) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan (5) meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Peningkatan mutu pendidikan merupakan inti dari kegiatan MPMBS, yang meliputi komponen input, process, dan output.
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan, baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Untuk menetapkan "proses pendidikan" yang bermutu, maka terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi, sarana dan prasarana, sumber daya lainnya, serta penciptaan suasana sekolah yang kondusif.
Dalam mengelola sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinergiskan berbagai input tersebut atau semua komponen dalam proses belajar-mengajar baik antara guru, siswa, dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik dalam konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu, misalnya pada setiap akhir cawu, akhir tahun, dalam dua tahunan, lima tahunan, atau 10 tahun. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya nilai ulangan umum, nilai EBTA, atau nilai Ujian Nasional). Prestasi dapat pula berupa prestasi di bidang lain, seperti dalam suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu, misalnya: komputer, beragam jenis teknik, atau jasa. Selain itu, prestasi sekolah dapat berupa suatu kondisi yang intangible, seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, atau kebersihan lingkungan.
Menentukan Benchmarking Sekolah
MPMBS dikembangkan dengan mensinergiskan antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu agar saling berhubungan. Dengan demikian, supaya proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam arti hasil pendidikan harus dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah secara jelas sebagai target yang akan dicapai untuk setiap periode pencapaian. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian tanggung jawab sekolah dalam melaksanakan school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi juga bertanggung jawab pada hasil yang dicapai.
Untuk mengetahui hasil pendidikan yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik dapat dilakukan dengan menetapkan benchmarking (menggunakan titik acuan standar pendidikan dari BSNP atau dari ketetapan suatu daerah). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada setiap sekolah, baik yang sudah menggunakan benchmarking, maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dapat dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam menetapkan target capaian hasil pendidikan, maka dalam menyusun RAPBS, terlebih dahulu sekolah harus menetapkan penjabaran dari target pencapaian mutu dan skenario bagaimana mencapainya, sehingga berimplikasi pada rincian pembiayaan sekolah.
Dalam mengimplementasikan konsep MPMBS, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personal sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orangtua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan untuk mengatur skala prioritas di samping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah atau pendidikan. Kepala sekolah harus berperan sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas secara total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan, baik di dalam sekolah maupun di sekolah lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mengungkit pencapaian mutu pendidikan, paling tidak terdapat empat hal yang harus dilakukan sekolah dalam pengelolaan kualitas secara total, yaitu: (i) perhatian harus ditekankan pada proses dengan secara terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas atau mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, berkarakter, dan memiliki kematangan emosional. Totalitas pengelolaan mutu ini akan dapat mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri kepada setiap personal sekolah, khususnya siswa. Sekolah harus selalu mengontrol semua sumberdaya, termasuk sumber daya manusia yang dimiliki dan harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu. Namun demikian, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lain masih diperlukan dalam rangka menjamin standar nasional mutu pendidikan dan dalam menciptakan akuntabilitas publik. (Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Surat Kabar PRIANGAN)
Alternatif manajemen yang ditawarkan pemerintah untuk mengelola organisasi sekolah adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Berdasarkan MBS, sekolah memiliki otonomi, kemandirian, dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi dan menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan untuk meredesain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas pemerintah pusat ke lokal (stakeholders), dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. MBS merupakan suatu bentuk restrukturisasi "grassroots", dengan pendekatan "bottom up" yang bergantung pada adopsi lokal terhadap gagasan-gagasan reformasi pendidikan. MBS mengubah sistem pengambilan keputusan dan manajemen menjadi kewenangan penuh di tingkat lokal atau sekolah, dengan memberikan kekuasaan kepada Kepala Sekolah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. MBS dapat diartikan sebagai wujud dari "reformasi pendidikan" yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik dengan memberikan kewenangan (otorita) kepada sekolah untuk memberdayakan dirinya. MBS pada prinsipnya menempatkan kewenangan yang bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindari format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu
Salah satu karakteristik sekolah yang menerapkan MBS adalah melakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Penerapan MPMBS perlu dilakukan sekolah, karena sekolah memiliki otonomi dalam mengambil keputusan. Kebervariasian kebutuhan belajar siswa, keberagaman kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, keberagaman lingkungan sekolah yang satu dengan lainnya, harapan orangtua atau masyarakat pada pendidikan yang bermutu bagi anaknya, dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga kerja bermutu, akan berdampak kepada keharusan bagi setiap pimpinan sekolah untuk mampu merespon dan mengapresiasi kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif, dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Oleh karena sekolah berada pada bagian terdepan pada proses pendidikan, maka berkonsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara itu, masyarakat dituntut berpartisipasi agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Penerapan manajemen ini berbeda dengan konsep pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro, tetapi lebih jauh pada hal-hal yang bersifat mikro. Sementara itu, sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir (paradigma) dari yang bersifat rasional, normatif, dan pendekatan preskriptif.
MPMBS merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian dan kreativitas sekolah. Konsep ini dikembangkan berdasarkan teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan atau perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua murid atau masyarakat.
MPMBS bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah; (2) mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia, (3) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, (4) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan (5) meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Peningkatan mutu pendidikan merupakan inti dari kegiatan MPMBS, yang meliputi komponen input, process, dan output.
Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan, baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Untuk menetapkan "proses pendidikan" yang bermutu, maka terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi, sarana dan prasarana, sumber daya lainnya, serta penciptaan suasana sekolah yang kondusif.
Dalam mengelola sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinergiskan berbagai input tersebut atau semua komponen dalam proses belajar-mengajar baik antara guru, siswa, dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik dalam konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu, misalnya pada setiap akhir cawu, akhir tahun, dalam dua tahunan, lima tahunan, atau 10 tahun. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya nilai ulangan umum, nilai EBTA, atau nilai Ujian Nasional). Prestasi dapat pula berupa prestasi di bidang lain, seperti dalam suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu, misalnya: komputer, beragam jenis teknik, atau jasa. Selain itu, prestasi sekolah dapat berupa suatu kondisi yang intangible, seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, atau kebersihan lingkungan.
Menentukan Benchmarking Sekolah
MPMBS dikembangkan dengan mensinergiskan antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu agar saling berhubungan. Dengan demikian, supaya proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam arti hasil pendidikan harus dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah secara jelas sebagai target yang akan dicapai untuk setiap periode pencapaian. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian tanggung jawab sekolah dalam melaksanakan school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi juga bertanggung jawab pada hasil yang dicapai.
Untuk mengetahui hasil pendidikan yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik dapat dilakukan dengan menetapkan benchmarking (menggunakan titik acuan standar pendidikan dari BSNP atau dari ketetapan suatu daerah). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada setiap sekolah, baik yang sudah menggunakan benchmarking, maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dapat dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam menetapkan target capaian hasil pendidikan, maka dalam menyusun RAPBS, terlebih dahulu sekolah harus menetapkan penjabaran dari target pencapaian mutu dan skenario bagaimana mencapainya, sehingga berimplikasi pada rincian pembiayaan sekolah.
Dalam mengimplementasikan konsep MPMBS, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personal sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orangtua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan untuk mengatur skala prioritas di samping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah atau pendidikan. Kepala sekolah harus berperan sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas secara total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan, baik di dalam sekolah maupun di sekolah lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mengungkit pencapaian mutu pendidikan, paling tidak terdapat empat hal yang harus dilakukan sekolah dalam pengelolaan kualitas secara total, yaitu: (i) perhatian harus ditekankan pada proses dengan secara terus-menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas atau mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, berkarakter, dan memiliki kematangan emosional. Totalitas pengelolaan mutu ini akan dapat mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri kepada setiap personal sekolah, khususnya siswa. Sekolah harus selalu mengontrol semua sumberdaya, termasuk sumber daya manusia yang dimiliki dan harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu. Namun demikian, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lain masih diperlukan dalam rangka menjamin standar nasional mutu pendidikan dan dalam menciptakan akuntabilitas publik. (Tulisan ini sudah diterbitkan dalam Surat Kabar PRIANGAN)